Berdasarkan data Kemenkes tahun 2019 jumlah rumah sakit di seluruh Indonesia sebanyak 2.877 (dua ribu delapan ratus tujuh puluh tujuh), namun sampai dengan November 2020, hanya terdapat 117 (seratus tujuh belas) Rumah Sakit yang memiliki izin pengolahan limbah B3, 111 (seratus sebelas) RS menggunakan Insinerator dan 6 (enam) RS menggunakan Autoklaf.
Dengan minimnya jumlah Rumah Sakit yang telah mendapatkan izin operasional Insinerator dan jumlah jasa pengolah limbah medis yang masih terbatas serta belum terdistribusi secara merata, timbulan limbah medis yang belum dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan jumlahnya masih sangat besar.
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan limbah medis yang dihasilkan dari Fasyankes perlu mendapatkan perhatian yang serius dari seluruh pihak terkait, baik pemerintah pusat maupun daerah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan melalui Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah
Non B3 bersama Bappenas dalam mendukung RPJMN 2020 - 2024 melaksanakan program prioritas nasional
dengan membangun 32
unit fasilitas pengelolaan limbah B3 dari fasilitas pelayanan kesehatan di 32 lokasi berupa Insinerator dengan fasilitas
pendukungnya. Pada tahun ini telah dilaksanakan pembangunan fasilitas sebanyak 5
(lima) unit di 5 (lima) lokasi, salah satunya di NTB.
Jumlah Fasyankes
di Provinsi NTB, berdasarkan data Kemenkes sebanyak 337 (tiga ratus tiga puluh
tujuh) fasyankes yang terdiri dari 169 Puskesmas, 131 Klinik dan 37 Rumah
Sakit. Namun hanya terdapat 3 (tiga) Rumah Sakit yang telah memiliki Izin
Pengolahan Limbah B3 dengan total kapasitas 100 kg/jam. Dalam hasil kajian Peta
Jalan Pengelolaan Limbah B3 dari Fasyankes tahun 2018, perkiraan timbulan
Limbah B3 Medis yang berasal dari Rumah Sakit di Provinsi NTB sebanyak 3,5 ton
per hari. Sehingga apabila ketiga RS berizin mengoperasikan insinerator selama
24 jam, maka hanya mampu membakar sebanyak 2,4 ton/hari, jadi masih terdapat gap kapasitas sebesar 1,1
ton per hari LB3 Medis dari RS yang belum terkelola. Disisi lain masih ada
Puskesmas dan Klinik yang LB3 Medisnya juga belum terkelola.
Alat pengolahan limbah medis berupa
Insinerator dengan tipe Rotary Kiln dan kapasitas 300 kg/jam (tiga ratus kilogram per jam), rumah pelindung dan
kantor, kendaraan roda tiga dan mobil box berpendingin, serta fasilitas
pendukung lainnya, diharapkan
dapat beroperasi dengan baik dan mampu mengolah limbah medis di wilayah Nusa Tenggara
Barat.